RA Darussalam Bogor

Sabtu, 10 Januari 2009

Penerapan Sekolah Gratis Pendidikan Dasar di Bogor

10-01-2009 17:26 WIB

Dinas Pendidikan Pesimis Berjalan Baik

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, bukan memberikan pencerahan bagi setiap daerah. Terbitnya peraturan tersebut membuat pemerintah daerah memutar otak untuk menyiapkan beberapa alternatif pendanaan. Hal inilah yang sekarang digodok pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor. Apakah sekolah gratis yang dicanangkan Pemprov Jabar tahun ini otomatis akan mengabaikan mutu pembelajaran?

SEORANG pemulung gelas plastik Bejo (19) pernah menyatakan dirinya enggan bersekolah karena sekolah menyebalkan. Ia memilih menjadi pengamen di sekitar Stasiun Bogor yang penghasilan per harinya jelas.

“Tidak perlu sekolah juga sudah mampu dapat uang,” ujarnya enteng.

Bejo merupakan pemuda asal Surabaya yang migrasi ke Kota Bogor. Ia merantau semata-mata karena orangtuanya memaksa dia bersekolah. Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Bogor ketika umurnya 15 tahun.

Dia juga pernah ditawari oleh seorang dosen IPB untuk tinggal di rumahnya dan melanjutkan sekolah.

Tawaran itu ia tepis. Bejo lebih memilih menjadi pemulung sampah plastik hingga sekarang. Arek (pemuda) Surabaya ini mengaku menemukan kebebasan pada rutinitasnya itu.

Sekolah rupanya masih sebagai institusi yang mengekang bagi Bejo.

Ada lagi Zaelani (14). Penjual rokok ini terpaksa putus sekolah karena kedua orangtuanya meninggal. Saat ini ia tinggal di Bojonggede bersama neneknya. Waktunya dihabiskan untuk berjualan di atas kereta rel listrik (KRL) Bogor-Jakarta pergi-pulang (PP). “Saya terpaksa nggak sekolah karena nggak ada biaya,” akunya polos.

Walau ada kebijakan sekolah gratis tingkat SD/MI dan SMP/MTs dan pemerintah Provinsi Jawa Barat, mustahil bagi Zaelani pergi ke sekolah. Dia harus menghidupi neneknya yang sudah renta. Jika dipaksakan sekolah, sudah pasti Zaelani tidak bisa mencari uang untuk menafkahi diri dan neneknya. Alhasil, tetap saja Zaelani tidak bisa sekolah.

Pengakuan Zaelani mengungkap alasan lain kalau penggratisan biaya sekolah tidak serta-merta membuat warga berbondong-bondong mendaftarkan diri. Masih ada faktor lain yang harus diperhatikan.

Demikian sekelumit kasus yang harus dipecahkan pemerintah daerah dalam mengentaskan buta aksara. Masih banyak contoh kasus lain yang membuat anak enggan sekolah.

Dari dua kisah tadi agaknya program sekolah gratis yang tertuang dalam PP 47/2008 dan PP 48/2008 harus disikapi pula dengan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas.

Pemerintah daerah bisa belajar pada kegigihan cara mengajar tokoh Bu Mus dalam novel best seller Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata.

Cerita yang berlatar di SD Muhammadiyah Belitung itu tidak bermuara pada bagaimana meningkatkan mutu pendidikan, tapi lebih pada bagaimana meningkatkan motivasi belajar siswa. Pada akhirnya, dengan motivasi tinggi, mutu pendidikan serta merta mengikuti. Sebuah keniscayaan jika daerah melakukan terobosan cara pendidikan yang membebaskan.

Saat ini peraturan pusat tentang sekolah gratis telah turun. Pemerintah provinsi dan kota/kabupaten harus bisa menyesuaikan kebijakan ini pada tataran implementasi. Tak mustahil pemda kota/kabupaten harus mengeluarkan peraturan daerah untuk membumikan surat edaran Mendiknas Nomor 186 Tahun 2008. Kota dan Kabupaten Bogor tak terkecuali.

Kedua pemda yang dekat dengan ibukota negara ini mau tidak mau atau suka tidak suka, harus sudah menggratiskan biaya wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun mulai tahun ini. Sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah. Apalagi sebelum adanya PP ini, program SD/MI gratis masih banyak masalah, terutama terkait transparansi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) di setiap sekolah.

Adanya dua peraturan pusat ini otomatis Pemda Kota dan Kabupaten Bogor harus melucuti dan menyilangkan dana yang turun dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan dari kas APBD masing-masing agar anggaran bisa mencukupi.

“Terkait pemberlakuan kedua PP itu, kami harus merumuskan dulu regulasinya dalam rangka mengantisipasi kriteria murah dan terjangkau,” ujar Pelaksana Teknis Kepala Tata Usaha Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Dicky Djatnika Ustama.

Maklum, wilayah Kabupaten Bogor begitu luas. Jumlah sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) di daerah ini pada 2008 mencapai 2.196 unit dengan ruang kelas 21.838 unit. Jumlah Sekolah Menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) juga tidak bisa dibilang sedikit.

Ada 628 sekolah dengan ruang kelas 3.050 unit yang kondisinya belum baik. Jumlah sekolah yang banyak ini tentu saja amat sulit untuk langsung digratiskan.

Belum lagi penanganan jumlah buta aksara di Kabupaten Bogor yang masih pada kisaran 36 ribu orang. Di samping harus memberlakukan sekolah gratis, Kabupaten Bogor juga harus bekerja keras membebaskan warga buta aksara pada 2010 sesuai target yang sudah ditetapkan.

Hingga saat ini Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan belum mendedahkan kedua PP itu ke dalam sebuah surat keputusan. “Gubernur saja masih sebatas statement, jadi Pemkab Bogor pun belum bisa merumuskan hanya dengan bersandar pada Surat Edaran Mendiknas Nomor 186 Tahun 2008,” tambah Dicky.

Disdik Kabupaten Bogor meminta waktu hingga akhir Januari ini untuk membahas program sekolah gratis. Komponen apa saja dari pendidikan yang nantinya akan digratiskan juga baru bisa diketahui kemudian. Disdik pesimis semua komponen harus digratiskan, termasuk komponen transportasi siswa.

Kondisi yang jauh berbeda terjadi di Kota Bogor. Kepala Bidang Pendidikan Umum Dinas Pendidikan Kota Bogor Ade Sarip Hidayat mengaku pihaknya akan langsung menggratiskan segala biaya SD, terutama SMP. “SPP untuk SMP Januari ini harus sudah dihentikan dan dari dulu SD/MI negeri di Kota Bogor sudah gratis,” ungkapnya.

Namun, Pemkot Bogor belum menentukan bagaimana pembagian BOS pendamping yang dikucurkan dari APBD Kota Bogor 2009. Sebelum adanya peraturan SD/MI dan SMP/MTs gratis, Kota Bogor sudah mengalokasikan Rp15 miliar untuk program SD/MI gratis.

Dengan diberlakukannya peraturan baru, alokasi dana tidak diperbesar, melainkan mekanismenya yang berubah. Disdik merencanakan dana Rp15 miliar untuk SD/MI gratis akan dibuat untuk SD/MI dan SMP/MTs.

Sayangnya, Disdik belum mau menyebut secara rinci persentase alokasi anggaran untuk SD/MI dan SMP/MTs di APBD. Saat ini besaran dana BOS pendamping dari Pemkot Bogor masih dalam pembahasan. “Untuk BOS SD/MI kemungkinan naik 50 persen menjadi Rp60 ribu per siswa per tahun. Sedangkan untuk BOS pendamping SMP/MTs diperkirakan Rp120 ribu per siswa per tahun,” beber kandidat Kepala Disdik Kota Bogor ini.

Di lain pihak, Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Disdik Kota Bogor Tuti Sugiharwati optimis adanya sekolah gratis otomatis mengurangi siswa usia sekolah yang hanya bisa bersekolah di lembaga nonformal, seperti Paket A (setara SD/MI) dan Paket B (setara SMP/MTs). “Mungkin pengaruhnya tidak terlalu signifikan, tapi saya yakin akan ada pengaruh,” duga Tuti.

Adanya program sekolah gratis, Tuti berharap ke depan Bidang Pendidikan Luar Sekolah Disdik hanya menangani orang-orang di luar usia sekolah yang masih bersemangat untuk belajar.

Sedangkan warga usia sekolah yang tak mau sekolah formal dengan alasan biaya, atau yang tidak mau sekolah karena terlalu kaku menyikapi waktu, bisa tertampung di sekolah formal. Dengan catatan, sekolah formal memberikan pendekatan personal kepada siswanya.

Apakah penerapan program sekolah gratis otomatis akan membawa siswa berbondong-bondong ke sekolah seperti yang diharapkan Tuti? Tanpa pembenahan sistem pembelajaran yang membebaskan siswa, mustahil warga usia sekolah di Bogor akan bersemangat datang ke sekolah walau untuk sekolah sudah tak perlu lagi mengeluarkan biaya.(*)

(Wandi Yusuf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar